Satu tahun yang lalu saya bisa dibilang hampir tidak pernah mendengarkan satu pun kata inefisiensi diucapkan oleh rekan rekan maupun lewat media. Tapi sepertinya keadaan berubah setelah beberapa bulan yang lalu muncul kata 'aneh' ini dan langsung menjadi populer oleh semua kalangan, bahkan tukang bakso yang saya temui sore tadi.
Jika kita telisik makna kata inefisiensi, sebenarnya sederhana. Tidak efisien, titik. Ya, jika hendak dijabarkan dengan agak lebih panjang ya menjadi suatu kondisi dimana keadaan yang terjadi tidak semaksimal potensi yang dimiliki. Dengan kata lain, tidak maksimal. Mengenai apa penyebab tidak maksimal tersebut, banyak hal yang bisa menjadi faktor.
Dengan munculnya kasus inefisiensi yang dinilai sebesar 37 triliun oleh PLN pada masa kepemimpinan Dahlan Iskan, saya sebenarnya agak tergelitik. Benar apa yang dikatakan oleh pak Dahlan bahwa kemungkinan inefisiensi yang terjadi adalah jauh lebih besar daripada nilai itu, karena ya...beragam faktor. Potensi yang dimiliki memang tidak selalu bisa dimaksimalkan, namun kadang justru bisa melebihi ekspetasi 'nilai maksimal' tersebut, oleh sebab mmm... misalnya faktor keberuntungan.
Katakanlah saya memiliki potensi untuk menghemat uang makan saya jika saya tidak makan siang, dan saya melakukan inefisiensi karena saya lapar dan 'terpaksa' makan siang, namun karena faktor keberuntungan, hari itu saya bertemu dengan salah seorang atasan lama saya sehingga saya pun ditraktir dan bahkan diberi 'uang jajan'. Dari sebuah potensi, hampir menjadi inefisiensi, lalu kemudian berubah menjadi hmmm, 'surplus'.
Sesuatu yang sudah berlalu sebaiknya tidak terlalu diungkit ungkit kembali, marilah kita berjalan dan mengatur apa yang ada di depan kita. Di dalam kasus konyol inefisiensi ini, 'negara' mencari cari kesalahan siapa yang membuat terjadi inefisiensi, dan sepertinya berusaha mengejar ngejar sosok Dahlan iskan yang saat itu memang menjabat sebagai direktur PLN.
Sekarang saya kok ingin membalik keadaan, bagaimana dengan inefisiensi yang terjadi di tubuh dewan perwakilan kita?
Anggap saja saya memang orang miskin yang kalau naik pesawat selalu cari tiket promo. Yang penting sampai ke tujuan, karena harga murah tiket promo itu tidak mengorbankan keamanan, hanya mengorbankan kenyamanan. Anggota DPR yang orang 'kaya' selalu meminta fasilitas nomer satu (kenyamanan) walaupun tujuannya sama. Ini sebenarnya bisa saya anggap sebuah inefisiensi. Perjalanan dinas yang seharusnya bisa dilaksanakan dengan nilai 300 ribu, jadi 3 juta. Itu satu orang. Tiap tahun terjadi ratusan perjalanan dinas. Yang ingin saya tanya apakah itu tidak bisa saya laporkan sebagai inefisiensi?
Agar tidak terasa memojokkan anggota DPR saja, saya juga mau mencari cari inefisiensi di bidang yang lain. Memangnya ada? Banyak, dan gak bakal selesai diceritakan dalam satu artikel. Angkutan kota misalnya, mereka melakukan banyak inefisiensi yang justru berdampak kepada orang lain. Misal ngetem di luar terminal, tiba tiba berhenti mendadak, berjalan pelan pelan sambil mencari penumpang.
Ingin contoh dari bidang yang lain lagi? Oke mari ambil contoh dari bidang saya, teknik sipil. Proses pembangunan di bidang konstruksi sangat banyak potensi yang sebenarnya bisa dimaksimalkan. Misal, di dalam dunia teknik sipil kita mengenal produktivitas pekerja (atau pun produktivitas alat/mesin). Intinya jika pekerja/alat tersebut 'dimaksimalkan sebagaimana mestinya' kita bisa mendapatkan hasil yang lebih dibandingkan jika pekerja/alat tersebut digunakan secara biasa.
Saya berikan satu lagi contoh inefisiensi. Suka nonton Master Chef? Saya ingat ada salah satu episode dimana juri memberikan saran agar kompor harus selalu menyala, maksudnya di sini adalah jangan sampai kompor itu menganggur. Master Chef adalah sebuah kompetisi memasak dimana pesertanya memasak berdasarkan waktu kemudian dinilai oleh juri. Jadi jika diminta selesai dalam waktu 1 jam, ya harus selesai 1 jam. Segala yang dilakukan oleh peserta harus se-efisien mungkin dimana potensi maksimalnya bisa tercapai.
Tergantung persepsi anda tentang sebuah inefisiensi, apakah kita tidak sebaiknya 'belajar' dari inefisiensi tersebut, dibandingkan mencari cari siapa penyebab inefisiensi. Inefisiensi bukanlah sebuah perkara kriminal. Walaupun bisa (dan memungkinkan) untuk dengan 'sengaja' melakukan inefisiensi (seperti perjalanan dinas anggota DPR), apakah inefisiensi yang menimpa PLN ini layak ditelusuri? atau hanya untuk menjegal langkah seorang Dahlan Iskan?
No comments:
Post a Comment