Mungkin baru kali ini saja saya menuliskan tentang sepakbola Indonesia. Sepakbola Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan lebih panjang dibandingkan dengan usia dari Republik Indonesia sendiri. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada Piala Dunia tahun 1938 yang diadakan di Perancis, Indonesia sudah mencatatkan dirinya sebagai Dutch East Indies (Hindia Belanda) yang berpastisipasi di sana. Pada 05 Juni 1938, bertempat di Reims (Velodrome Municipale), walaupun tidak mencetak gol dan kalah 6-0 melawan Hungaria, Indonesia lah negara Asia pertama yang berlaga di Piala Dunia.
10-0
Kekalahan timnas Indonesia atas Bahrain pada 29 Februari lalu membuka mata banyak pihak. Sepuluh gol tanpa balas adalah bukan skor yang 'menyenangkan' bagi tim yang kalah. Bahkan saya sendiri pernah merasakan pada masa SMA, bermain melawan kakak kelas, kalau tidak salah, kalah 11-2, tapi permainan sepakbola itu tetap dinikmati. Kami menikmatinya sebagai sebuah permainan. Bukan masalah menang atau kalah. Ya, tentunya karena memang beda kelas dengan lawan main. Menilik kekalahan sepuluh gol Indonesia melawan Bahrain, secara kelas, Bahrain mungkin hanya setingkat di atas timnas kita. Hanya saja, memang kondisi timnas kita saat bertanding tersebut memang hancur lebur, setelah terjadinya perselisihan di dalam dunia persepakbolaan tanah air, dimana muncul sebuah liga tandingan yang dianggap asing/ilegal oleh lembaga resmi kita, PSSI. Dalam hal ini pemain menjadi salah satu korban, karena ternyata dengan bermain di liga ilegal tersebut mereka tidak diperbolehkan membela timnas, sementara kenyataannya mayoritas pemain timnas kita bermain di liga ilegal tersebut.
Nurdin Halid, Irfan Bachdim dan Setetes Nila
Beragam protes tentu saja muncul belakangan setelah terjadinya 'aib' sepakbola nasional. Ada yang meminta PSSI direformasi 'sekali lagi', ada yang minta agar semua berdamai saja. Entah sebenarnya semua ini adalah langkah mundur atau bukan, saya yakin bahwa keadaan kita saat ini justru akan bisa membangkitkan persepakbolaan nasional. Seperti sebuah kata mutiara, kita hanya bisa bangkit setelah terjatuh, seperti itulah keadaan kita. Kita sering 'hampir' jatuh, dan kali ini kita sudah 'benar-benar' jatuh. Kemungkinan ke depan adalah, 'jatuh' lebih dalam, atau bangkit.
Saya sebenarnya heran ketika PSSI berusaha 'menyenangkan' AFC dan FIFA agar terhindar dari sanksi pertandingan internasional. Kalau tidak salah pada waktu itu PSSI era Nurdin Halid menjelang dijatuhkan dan memicu kekisruhan di dalam tubuh PSSI. Dan kebetulan saat itu timnas kita sedang 'naik daun' karena munculnya harapan besar akan prestasi setelah beberapa nama masuk ke timnas, seperti Irfan Bachdim, Gonzalez, dll. Sehingga masyarakat langsung menoleh kepada PSSI yang penuh kebobrokan. Andaikan waktu itu AFC/FIFA menjatuhkan sanksi bagi Indonesia, bisa dipastikan saat ini tidak terjadi kekalahan sepuluh gol itu, dan mungkin insan sepakbola tanah air lebih arif menyingkapinya, karena kemungkinan besar, liga tandingan tidak akan muncul.
Bahwa kenyataannya sekarang setelah PSSI diperbaharui dengan pemimpin Arifin Djohar, kondisi justru memburuk, saya pun hanya bisa geleng geleng kepala. Karena saya sempat mendengar ada janji bahwa Indonesia akan menembus Piala Dunia 2022. Bukan kesalahan satu orang, ini merupakan kumulatif dari semua kejadian yang ada. Setetes nila ini hanya menambahkan ratusan tetes nila yang dijatuhkan sebelumnya. Dalam gambaran besarnya, kita sudah tidak punya susu sebelanga, tapi nila sebelanga..
Menatap Masa Depan
Belum siap. Jika Anda menanyakan, sudah siapkan jika timnas kita lolos ke Piala Dunia? Itu jawabannya. Satu, seandainya kita saat ini memang punya pemain yang bagus sehingga sampai lolos Piala Dunia, saya yakin itu hanya satu generasi. Dua, mental sepakbola kita belum cukup untuk itu. Berandai andai terjadi demikian, kemudian pada generasi berikutnya kita kembali tenggelam, dipastikan butuh waktu yang sangat lama untuk mencapai hal itu lagi.
Ada baiknya untuk sementara waktu kita kembali ke meja kerja, karena industri sepakbola saat ini sudah menjadi sesuatu yang bukan barang instan. Kita tidak mungkin mendapatkan pemain timnas yang bagus dari kompetisi yang buruk. Kita tidak bisa menghasilkan kompetisi yang bagus jika mental personil lapangan kita buruk. Kita tidak bisa mendapat mental yang bagus jika pendidikan usia dini tidak berjalan baik.
Kekurangan terbesar pemain di Indonesia menurut saya adalah kurangnya kestabilan permainan. Sering kali seorang pemain menjadi bintang sesaat. Kestabilan permainan berasal dari mental (faktor dalam) dan lingkungan (faktor luar). Untuk mengasah mental, jelas tidak bisa instan. Mental 'yang penting menang' harus diberangus dari otak pemain kita. Inti sepakbola adalah sebuah olahraga. Seperti olahraga beregu yang lain, basket, kita hanya perlu berusaha yang terbaik. Jika hasilnya adalah 'kalah', bukan berarti kita buruk, tapi lawan kitalah yang lebih baik. Jadi jalannya akan menjadi salah jika lewat doping, suap, atur skor, mencuri umur, dll. Itu mental awal yang harus ditanamkan sejak dini. Kemudian dari lingkungan, berjalan beriringan adalah suporter, fasilitas, kompetisi, dan perangkat pertandingan. Semua suporter tidak senang jika timnya kalah, bedanya suporter kita membawa masalah di atas lapangan bahkan sampai ke luar lapangan. Merusak fasilitas, membakar mercon, melempari suporter lawan, dll. Bahkan seringkali hal ini justru dipicu oleh perangka pertandingan (wasit) yang mentalnya sudah bobrok.
Mengenai kompetisi, jumlah klub sepakbola di tanah air sangat banyak. Menilik dari luasnya wilayah negeri kita, kemungkinan besar jumlah klub yang ada jauh lebih besar dibandingkan seluruh klub di Liga Inggris beserta turunannya (sampai North dan South Conference). Anggap saja jumlah klub ideal untuk sebuah liga adalah 18-22 tim. Jumlah total klub profesional - semi profesional di negara kita mungkin mencapai angka 200 tim, tersebar dengan mayoritas di pulau Jawa dan Sumatera. Mungkinkah kita mencari kompetesi yang ideal?
Pilihan pertama bertajuk "Island League", yaitu kompetisi per wilayah. Musim pertama, untuk mengurangi biaya transportasi yang berlebihan, Jawa mengadakan kompetisi sendiri, Sumatera sendiri, Kalimantan mungkin bersama Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku-Papua. Dari tiap wilayah diambil 2-5 klub, sehingga total akan menjadi 10-25 klub, cukup ideal untuk melakukan kompetisi nasional di tahun berikutnya. Untuk kasta dibawahnya, tetap diadakan per wilayah. Untuk degradasi-promosi, baru diadakan antar juara wilayah. Jadi kita hanya punya satu kompetisi nasional dengan jumlah tim yang bisa dikoreksi seiring berjalannya waktu.
Pilihan yang kedua, sangat boros biaya transportasi, dan memakan waktu sangat panjang. Anggap saja saya beri nama "Inter Island League". Semua klub dimasukkan dalam satu kompetisi. Anggap saja 200 klub, akan bertanding home-away untuk menentukan kasta sebuah klub. Dengan total pertandingan per klub = 398 pertandingan, pilihan ini adalah kompetisi yang sangat panjang, mungkin bisa berlangsung selama 5 tahun, baru kemudian kita bisa punya kompetisi utama beserta kasta di bawahnya. Pilihan aneh, pilhan sulit, tapi tetap merupakan sebuah pilihan, bahkan menurut saya pilihan yang paling adil.
Pilihan ketiga hadir, karena saat ini sudah terlanjur terpecah menjadi dua kompetisi yang masing masing punya kasta. Anggap saja juara Indonesia adalah juara dari kompetisi IPL ditandingkan dengan juara kompetisi ISL. Masalah degradasi promosi tergantung masing masing kompetisi menurut kastanya. Pilihan ini bisa dibilang paling murah, namun paling kontroversial.
Pilihan keempat adalah terjadinya kesepakatan untuk meleburkan kembali liga menjadi satu kesatuan. Hal ini pernah terjadi sebelumnya dimana era Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi satu kompetisi Divisi Utama.
Pilihan kelima, entahlah, saya kehabisan pemikiran, mungkin AFC/FIFA bersedia menengahi masalah ini dan mengambil alih kendali PSSI dengan mendirikan suatu badan tertentu untuk merumuskan persepakbolaan Indonesia ke depannya.
Membicarakan sepakbola, tidak akan lepas dari masalah uang. Darimana pemain mendapatkan gajinya? Darimana klub bisa mendanai perjalanannya? Sewa stadion/perawatan stadion?
Sayangnya manusia Indonesia sangat lemah masalah uang. Di saat yang bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini terus mebersihkan pemerintahan kita dari jaring jaring yang menjeratnya. Politik mendatangkan uang, sepakbola butuh uang, sepakbola menghasilkan uang, politik bersenang senang. Mungkin ini semua memang terjadi di satu waktu yang bersamaan sehingga bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih baik, di dalam pemerintahan, maupun di dalam sepakbola. Hidup Sepakbola Indonesia !
No comments:
Post a Comment